Mengapa
Korban Gempa Sangat Banyak?
Gempa kedatangannya selalu
mengejutkan dan menimbulkan kepanikan, bahkan juga mengundang kepiluan karena
dampaknya sering kali fatal. Begitu pula gempa yang menerjang selatan Jawa
Barat Rabu (2/9) lalu. Namun, mengapa gempa kali ini menelan banyak korban
jiwa? Korban tewas 73 orang dan hilang 34 orang.
Gempa yang menghantam selatan Jawa
Barat itu berkekuatan 7,5 skala Richter (hasil koreksi Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika pada Jumat 4/9, yang sebelumnya menyebut 7,3 SR
beberapa menit setelah munculnya gempa utama) tergolong besar. Koreksian ini
lebih tinggi daripada pengukuran United States Geological Survey (USGS),
sebesar 7,4 Magnitudo.
Rekaman seimografi menunjukkan
posisi episenter relatif lebih dekat ke daratan dibandingkan ke zona subduksi.
Namun, pusat gempa itu tergolong gempa dalam, sekitar 30 kilometer. Kondisi
inilah yang menyebabkan tidak terjadi tsunami berarti. Di Pameungpeuk,
Kabupaten Garut, pemantau pasang surut milik Bakosurtanal, hanya mencatat
ketinggian pasang 1 meter.
Dalamnya episenter itu guncangannya
terasa meluas. Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, kondisi ini
ibarat sorotan senter kepada obyek. Apabila dekat dengan obyek, cahayanya
terang tetapi terbatas yang tersorot. Adapun jika obyek jauh, cahaya akan
menyebar tetapi intensitasnya rendah.
Terjangan gempa kuat di Jawa Barat
itu punya efek besar karena Jawa Barat bagian selatan merupakan daerah rawan
longsor.
"Tingkat kerawanan tanah
longsor di Jawa Barat tertinggi di Indonesia. Itu karena wilayah ini tersusun
dari tanah berpasir yang mudah lepas bila terkena guncangan," kata Surono.
Sesar Cimandiri
Selain kondisi tanah yang labil,
Jawa Barat juga banyak dilalui sesar mikro yang sangat aktif, terutama Sesar
Cimandiri yang membentang dari Kabupaten Sukabumi hingga ke Lembang di Bandung
bagian utara dan Sesar Baribis di sekitar Kabupaten Majalengka. Selain itu,
juga ada sesar di Kabupaten Garut yang belum teridentifikasi. "Sesar ini
relatif kecil, tetapi berada di permukiman padat," tambah Surono.
Sesar ini juga menyimpan ancaman
lain karena juga mengakumulasi energi. Ketika terusik gempa dari zona subduksi,
bagian bebatuan yang rapuh akan bergeser dan melepaskan energi sehingga
menimbulkan gempa. Kondisi seperti itu antara lain yang terjadi di Sesar Opak
Yogyakarta pada tahun 2006.
Daerah selatan Jawa Barat secara
umum memang berpenduduk padat karena tergolong bertanah subur, tetapi ancaman
bahayanya juga tinggi. Karena itu, PVMBG telah membuat Peta Zona Kerentanan
Gerakan Tanah untuk tingkat kabupaten di kawasan tersebut tahun 2001 dan telah
melakukan sosialisasi serta penerapan di lapangan oleh pemerintah daerah
setempat. Di Garut, misalnya, telah dibuat rencana kontingensi untuk bencana
tanah longsor.
Hal inilah yang menyebabkan
penurunan drastis jatuhnya korban akibat tanah longsor. "Namun, belakangan
ini dengan bergantinya kepengurusan di pemda setempat, penetapan zona itu tidak
lagi diindahkan," ungkap Surono.
Tiga faktor
Daerah Tasikmalaya, Garut, Cianjur,
dan Bandung Selatan termasuk daerah yang terdekat dengan pusat gempa dan zona
subduksi lempeng. Namun, ketika gempa Rabu (2/9) mengguncang Cianjur,
kondisinya ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga".
Menurut pengamatan Deputi Pencegahan
dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng
Triutomo, paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya korban jiwa
di wilayah ini.
Selain daerahnya tergolong rawan
longsor, banyak penduduk yang justru tinggal di wilayah yang berbahaya itu.
Rumah-rumah penduduknya juga berkualitas rendah. "Upaya pembangunan
kembali nantinya harus mengacu pada konstruksi tahan gempa. Konstruksi ini
tidak harus mahal. Bangunan dari kayu yang ringan justru lebih tahan gempa
dibandingkan dengan tembok," ujarnya.
Pascagempa itu, menurut Sugeng,
harus ada upaya merelokasi warga dari daerah rawan tanah longsor ke daerah yang
aman. Upaya pencegahan di daerah perbukitan yang rawan longsor dapat dilakukan
dengan membuat terasering meskipun cara ini mahal.
Tanah endapan
Intensitas gempa Jawa Barat begitu
terasa di Jakarta, yang jaraknya relatif jauh dari pusat gempa. Hal ini karena
terjadi amplifikasi gelombang ketika sampai di daerah tanah aluvial atau
endapan yang relatif lunak. Jakarta memang tersusun dari tanah endapan sungai
pada masa purba.
Begitu pula yang terjadi di
Yogyakarta dan Bandung. Daerah-daerah tersebut tersusun dari tanah endapan
luapan lahar gunung berapi dan daerah cekungan danau purba. Daerah cekungan
bersifat mengumpulkan gelombang gempa.
Di daerah-daerah tersebut
pembangunan rumah harus mengacu pada kaidah standar keamanan bangunan yang
tinggi. Hal itu karena pada gedung tinggi akan terjadi faktor ayunan saat
diguncang gempa.
Khusus untuk wilayah Jakarta, Sugeng
mengingatkan, selain faktor keamanan itu, harus diperhatikan ancaman amblesnya
bangunan. Ketika terjadi guncangan gempa dapat terjadi likuifaksi atau
pelembekan tanah. Tanah yang mengalami pembebanan tinggi akan ambles, apalagi
jika di bawahnya berongga.
Untuk mencegah ancaman tersebut di
Jakarta harus ada pengendalian penyedotan air tanah, bahkan harus ada upaya
pengisian kembali air tanah dalam. Sugeng mengamati subsiden di kawasan Thamrin
yang terjadi sejak 1980-an.
Menghadapi ancaman bencana-bencana
itu, Sugeng dan Surono mengingatkan perlunya memberdayakan masyarakat untuk
melakukan upaya penyelamatan dari bencana.
Sumber: cetak.kompas.com
http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/mengapa-korban-gempa-sangat-banyak/
Bisa juga dilihat di :
Komentar
Posting Komentar